Laki-laki, make up dan tamborin. Apa yang anda pikirkan dengan tiga hal di atas? Mungkin anda berpikiran sama dengan saya. Laki-laki dengan make up, dan memegang tamborin, mencari penyambung hidup. Namun, saya tidak hanya memikirkan saja kombinasi ketiganya, saya menyaksikannya, mencuri perhatian saya, siang ini.
Sudah jadi kebiasaan saya di semester uzur ini berangkat ke kampus di siang hari. Seperti biasa, mengendarai Mimi saya tercinta di bawah terik matahari tengah hari yang sering membuat saya cenat-cenut. Di pinggir jalan R.E Martadinata yang padat dan berjajar toko-toko karpet, berdiri seorang, yang biasa masyarakat labeli, waria. Melihat seorang waria, bukanlah hal yang mengejutkan bagi saya, tetapi orang ini begitu menarik perhatian saya hingga terpikir oleh saya untuk men-share cerita tentang bapak ini. Okey…saya lebih leluasa menyebutnya Bapak saja dalam tulisan cuap-cuap nggak jelas saya ini ^^.
Meskipun saya hanya melintas saja di depan bapak itu, saya cukup lama memperhatikan bapak yang mencuri perhatian ini. Bapak itu mungkin sudah memasuki usia setengah abad, terlihat dari keriput yang menghiasi wajahnya yang tidak berhasil ditutupi dengan make up tebalnya. Dari riasan tebal di wajahnya, Bapak ini mungkin sudah mengenal berbagai jenis beauty kit yang biasa dipakai wanita seperti alas bedak, pensil alis, eyeliner, eyeshadow, lipstick, blush on, dan entah lainnya juga. Eyeshadow hijaunya eyecatching sekali, bahkan saya berani bertaruh, saya pasti kalah canggih mengenal dan mengeksplor make up daripada bapak ini.
Pakaian bapak inipun tak luput dari perhatian saya. Bapak ini berpostur sedang dan cenderung kurus, dan berpakaian sangat biasa, tidak seperti stereotype (maaf..) waria yang biasa digambarkan. Bapak ini hanya memakai sandal flat biasa, celana 7/8 dengan warna hijau yang sudah agak kusam, dan blouse panjang biru yang juga sederhana. Rambut tipis sebahu bergelombang dan kurang tertata rapi seakan sosok yang ditampilkan adalah ibu rumah tangga biasa.
Tamborin yang dipegang Bapak ini di tangan kanannya sudah mengindikasikan apa yang dikerjakannya siang itu, bahkan bisa saja kita cepat mengambil kesimpulan apa pekerjaan bapak ini. Entah benar atau tidak.
(Damn! Indonesia kalah, ditanding penalty. Saya sambil nonton bola nih. Huhuhuhu,,, nangis lemes!) (Yuk lanjut cerita lagi. Sampai mana tadi? Oiya… )
Ekspresi si Bapak siang itu masih terekam baik dalam memori saya. Dengan keringat yang membasahi kening dan melunturkan make upnya, Bapak ini tidak menunjukkan ekspresi kemayu ataupun menggoda atau apalah. Di pinggir jalan itu, Bapak itu memandang dengan cemas kearah arus jalan barat, dengan kening berkerut dan mata menyipit menahan silau. Si Bapak sepertinya hendak menyeberang ke sisi jalan yang satunya dengan ragu-ragu. Mungkin beliau hendak ke toko di seberang jalan, melanjutkan bekerja. Ini kan tengah hari, Pak, waktunya istirahat sejenak. Kapan waktu istirahat Bapak?
Di depan saya, ada dua orang pria naik matic di depanku yang menunjuk-nunjuk si bapak bermake up itu, lalu cekikikan bersama. Sepertinya keduanya mahasiswa. Miris. What was in their mind? Ah…entahlah, mungkin aku yang terlalu sok perhatian. Hanya terlintas saja, selama melanjutkan perjalanan ke kampus, saya memikirkan bagaimana si Bapak itu pulang, bagaimana respon orang-orang yang melihat usahanya mengumpulkan rupiah, bagaimana dia membersihkan make upnya, dan mengatur uang belanjanya dalam 1 hari, dan apakah Bapak itu berkeluarga. Bagaimana keluarganya memahami kondisi si Bapak mencari penghasilan. Sesusah inikah mendapatkan penyambung hidup. Dan payahnya, saya hanya memikirkan saja tanpa melakukan aksi apapun. I wish I could do something.. something yang sedikit bisa menyumbangkan sedikit kebahagiaan entah apapun wujudnya.
Dan pada akhirnya, saya hanya bermuara pada dua poin, beruntung dan bersyukur. Bersyukur karena betapa beruntungnya saya karena tidak pelu memikirkan apa yang akan saya makan hari ini dan 1 bulan ke depan..ada ayah dan ibu tercinta yang dengan ikhlas hati mengusahakan. Bersyukur dengan kondisi sebaik ini tanpa harus memikirkan segala kemungkinan untuk mengumpulkan penyambung hidup untuk hari ini dan besok, dan meski pada suatu saat nanti saya juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk menanggung diri saya sendiri.
Tidak mungkin tidak si bapak itu tidak memikirkan apa yang dipilihnya dan dikerjakannya. Pasti dalam lubuk hatinya ada pertimbangan-pertimbangan yang dirasakannya lalu dipikirkannya. Entah seperti apa. Namun, bukan selayaknya kita menertawakan apa yang dipilih seseorang, saya memberikan apresiasi kepada seseorang menjalankan pengabdian kepada orang-orang yang dicintainya (apabila benar begitu adanya) meskipun terkadang tidak mendukung sepenuhnya pada cara dan usaha yang dikerjakan.
Terimakasih, Bapak tamborin
For the inspiration…