Rabu, 23 November 2011

Laki-laki, make up dan tamborin



 Laki-laki, make up dan tamborin. Apa yang anda pikirkan dengan tiga hal di atas? Mungkin anda berpikiran sama dengan saya. Laki-laki dengan make up, dan memegang tamborin, mencari penyambung hidup. Namun, saya tidak hanya memikirkan saja kombinasi ketiganya, saya menyaksikannya, mencuri perhatian saya, siang ini.  
Sudah jadi kebiasaan saya di semester uzur ini berangkat ke kampus di siang hari. Seperti biasa, mengendarai Mimi saya tercinta di bawah terik matahari tengah hari yang sering membuat saya cenat-cenut.  Di pinggir jalan R.E Martadinata yang padat dan berjajar toko-toko karpet, berdiri seorang, yang biasa masyarakat labeli, waria. Melihat seorang waria, bukanlah hal yang mengejutkan bagi saya, tetapi orang ini begitu menarik perhatian saya hingga terpikir oleh saya untuk men-share cerita tentang bapak ini. Okey…saya lebih leluasa menyebutnya Bapak saja dalam tulisan cuap-cuap nggak jelas saya ini ^^.
Meskipun saya hanya melintas saja di depan bapak itu, saya cukup lama memperhatikan bapak yang mencuri perhatian ini. Bapak itu mungkin sudah memasuki usia setengah abad, terlihat dari keriput yang menghiasi wajahnya yang tidak berhasil ditutupi dengan make up tebalnya. Dari riasan tebal di wajahnya, Bapak ini mungkin sudah mengenal berbagai jenis beauty kit yang biasa dipakai wanita seperti alas bedak, pensil alis, eyeliner, eyeshadow, lipstick, blush on, dan entah lainnya juga. Eyeshadow hijaunya eyecatching sekali, bahkan saya berani bertaruh, saya pasti kalah canggih mengenal dan mengeksplor make up daripada bapak ini.
Pakaian bapak inipun tak luput dari perhatian saya. Bapak ini berpostur sedang dan cenderung kurus, dan berpakaian sangat biasa, tidak seperti stereotype (maaf..) waria yang biasa digambarkan. Bapak ini hanya memakai sandal flat biasa, celana 7/8 dengan warna hijau yang sudah agak kusam, dan blouse panjang biru yang juga sederhana. Rambut tipis sebahu bergelombang dan kurang tertata rapi  seakan sosok yang ditampilkan adalah ibu rumah tangga biasa.
Tamborin yang dipegang Bapak ini di tangan kanannya sudah mengindikasikan apa yang dikerjakannya siang itu, bahkan bisa saja kita cepat mengambil kesimpulan apa pekerjaan bapak ini. Entah benar atau tidak.
(Damn! Indonesia kalah, ditanding penalty. Saya sambil nonton bola nih. Huhuhuhu,,, nangis lemes!) (Yuk lanjut cerita lagi. Sampai mana tadi? Oiya… )
Ekspresi si Bapak siang itu masih terekam baik dalam memori saya. Dengan keringat yang membasahi kening dan melunturkan make upnya, Bapak ini tidak menunjukkan ekspresi kemayu ataupun menggoda atau apalah. Di pinggir jalan itu, Bapak itu memandang dengan cemas kearah arus jalan barat, dengan kening berkerut dan mata menyipit menahan silau. Si Bapak sepertinya hendak menyeberang ke sisi jalan yang satunya dengan ragu-ragu. Mungkin beliau hendak ke toko di seberang jalan, melanjutkan bekerja. Ini kan tengah hari, Pak, waktunya istirahat sejenak. Kapan waktu istirahat Bapak?  
Di depan saya, ada dua orang pria naik matic di depanku yang menunjuk-nunjuk si bapak bermake up itu, lalu cekikikan bersama. Sepertinya keduanya mahasiswa. Miris. What was in their mind? Ah…entahlah, mungkin aku yang terlalu sok perhatian. Hanya terlintas saja, selama melanjutkan perjalanan ke kampus, saya memikirkan bagaimana si Bapak itu pulang, bagaimana respon orang-orang yang melihat usahanya mengumpulkan rupiah, bagaimana dia membersihkan make upnya, dan mengatur uang belanjanya dalam 1 hari, dan apakah Bapak itu berkeluarga. Bagaimana keluarganya memahami kondisi si Bapak mencari penghasilan.  Sesusah inikah mendapatkan penyambung hidup. Dan payahnya, saya hanya memikirkan saja tanpa melakukan aksi apapun. I wish I could do something.. something yang sedikit bisa menyumbangkan sedikit kebahagiaan entah apapun wujudnya.
Dan pada akhirnya, saya hanya bermuara pada dua poin, beruntung dan bersyukur. Bersyukur karena betapa beruntungnya saya karena tidak pelu memikirkan apa yang akan saya makan hari ini dan 1 bulan ke depan..ada ayah dan ibu tercinta yang dengan ikhlas hati mengusahakan. Bersyukur dengan kondisi sebaik ini tanpa harus memikirkan segala kemungkinan untuk mengumpulkan penyambung hidup untuk hari ini dan besok, dan meski pada suatu saat nanti saya juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk menanggung diri saya sendiri.
Tidak mungkin tidak si bapak itu tidak memikirkan apa yang dipilihnya dan dikerjakannya. Pasti dalam lubuk hatinya ada pertimbangan-pertimbangan yang dirasakannya lalu dipikirkannya. Entah seperti apa. Namun, bukan selayaknya kita menertawakan apa yang dipilih seseorang, saya memberikan apresiasi kepada seseorang menjalankan pengabdian kepada orang-orang yang dicintainya (apabila benar begitu adanya) meskipun terkadang tidak mendukung sepenuhnya pada cara dan usaha yang dikerjakan.  

Terimakasih, Bapak tamborin
For the inspiration…

Rabu, 16 November 2011

Empat Hari Menjadi Mahasiswa Jalanan


Bagaimana rasanya mahasiswa-mahasiswi yang mainnya ke kampus tiap hari, ketemu teman-teman kuliah dan dosen, bergelut buku, tugas, dan kertas mendadak menjadi mahasiswa jalanan yang mainnya sama supir-supir bus dan truk. It was super duper fun!!
Yup, saya bersama teman-teman mahasiswa tingkat akhir yang tengah dilanda derita nestapa karena tiap hari harus bercinta dengan yang namanya sekeripsih, langsung bersemangat mendengar tawaran dari salah satu teman saya (sebut saja namanya Mawar,, eh Anita ding! ckakakaka) untuk menjadi surveyor untuk survey oleh salah satu dinas yang berhubungan dengan transportasi darat pertengahan Oktober lalu. Selain membayangkan tantangan yang sepertinya menarik, fee hariannya lah yang sangat menggoda bagi kami para mahasiswa galau. Kalau saya estimasikan sih, fee harian untuk bertugas selama 8 jam bisa dibeliin cimol satu gerobak.
Setelah satu hari pelatihan di gedung pertemuan di kantor dinasnya, masi belum punya bayangan juga apa yang harus dilakukan di lapangan ntar.  (well, yang paling impressif dari 1 hari pelatihan itu adalah, nasi kotaknya,, fantastic…:D ) Tapi, begitu sampai dilapangan, wah…ternyata saya, bersama temen-temen yang notabene berwajah anak-anak innocent ini langsung beringas melaksanakan tugas sebagai surveyor, dibantu Bapak-bapak petugas dan juga Abang Polisi yang baek…^^.
Awalnya kita berpikir 8 jam itu lama banget, tapi ternyata, sampe tidak terasa dari pagi-pagi sekali kita berangkat dari rumah (anak sekolah kalah tuh) sampai lepas dhuhur rupanya. Setiap pagi sampai di TKP, saya bersama teman-teman masih cantik, bersih dan hingga siang hari sudah penuh debu, bau matahari dan wajah kucel tapi tetep ceria karena amplop cantik sudah menanti. Akakakaka… Hari pertama, kita mencoba on time, berangkat pagi-pagi sekali dan sudah cantik, tapi lama-lama sampai hingga hari terakhir, kita  berangkat dengan tergesa-gesa sampai belum sempat mandi juga. (sopo wii…)

Menjadi surveyor di jalanan ternyata berkesan sekali euyy.. kapan lagi saya, mahasiswi imut ini (hueeekkk..)menghadang truk-truk guedhe, truk container, truk gandeng, sampe truk adonan semen (kadang-kadang berasa seperti tukang palak), ketemu dan menginterview bapak-bapak sopir yang sangar, tatoan, hingga yang jarang sikat gigi…ewwwhhh. Ekspresi yang berbeda-bedapun ditunjukkan bapak-bapak sopir. Ada yang ramah, ada yang genit-genit, ada yang cuek, bahkan ada yang super panic mencari-cari surat-surat, karena dikira razia. Barang-barang yang diangkutpun macem-macem, dari paketan, mie, sandal, kambing, sapi, jerami, plastic, semen, rokok, tabung gas, mangga, sampe korok’an kuping (cotton bud). Bahkan ada, salah satu truk yang membawa jeruk memberi kita 5 buah  jeruk lhooo…(serasa diserahi upeti nih)^^. Dan satu lagi satu poin yang sangat mengesankan, kapan lagi saya bisa membuat jalanan Sragen –Karanganyar macet gara-gara saya dan diijinkan secara legal ^^, ckakakaka
Meski menjadi surveyor dadakan yang bertugas 8 jam di pinggir jalan, tidak se-ngeri terdengarnya koq.  4 hari yang melelehkan itu fun dan berkesan sekali. Yang jelas yang selalu membuat kita selalu on adalah karena tiap hari selalu berlimpah makanan dan minuman. Mulai dari nasi kotak, nasi bungkus, brownies, gorengan, aer mineral, pisang, roti, snack, sampe es klamud gratis…..^^ (big thanks to mas Fuat). Empat hari menjadi mahasiswa pinggir jalan, ternyata juga bikin kita amnesia tentang higienitas, cewek-cewek cantik ini (oke, Erry g masuk kategori ini) sampe kita tidak peduli makan di pinggir jalan, di pinggir kali limbah, pinggir sawah juga, penuh debu dan kadang asap mobil, bus , malah plus digodain bapak-bapak sopir truk ”asolole……...”. waduh waduh….
Karena hasil keringat ngobyek selalu diserahkan harian dengan amplop putih tercinta itu, maka dengan dengan semangat membara, mata berkilat-kilat, meski wajah sudah kucel tingkat akut, kita langsung saja berfoya-foya dan wisata kuliner sepulang ngobyek. Mau ayam goyeng? Bakso rusuk? Es teller?? Let’s go gage! Wkwkwkwk..
Tapi disamping semua fun itu, juga ada moment-moment yang membuat kita jadi jengkel dan desperate juga, dari dimarahi bapak kondektur, supir bus, sampe dimarahi ibu-ibu yang mau ke pasar dan kulit belang terbakar matahari. (sumpah, kita tetap membawa beauty kid selama menjadi mahasiswi jalanan).
Well,  4 hari menjadi mahasiswa jalanan rasanya menjadi sedikit melawan arus yang biasanya kita arungi. Empat hari yang unforgettable dan full of fun meski capenya juga tidak karu-karuan, tapi bersama teman-teman yang asik, bapak-bapak petugas dan mas-mas polisi yang baik dan menyenangkan, it was so exciting. Sayang, agenda survey itu hanya lima tahun sekali…hehehe…kalau terlalu sering mahasiswanya yang bahagia, petugas dinasnya yang mumet :D


Senin, 01 Agustus 2011

My dad’s hand


Tangan bapakku memang jauh dari halus dan bagus. Tangan bapakku itu simple, besar, kasar dan coklat seperti tangan-tangan laki-laki pekerja pada umumnya. Keriput juga sudah menghiasi punggung tangannya. Meski jauh dari sempurna, tapi  tangan itu adalah most-wanted hand yang ingin dicium oleh murid-muridnya. Tanya kenapa?

Jawabnya: entah.. :D. Tapi memang begitulah adanya. Setiap bapak sampai di sekolah dan turun dari motor, segera Bapak diserbu oleh murid2nya. Mereka segera mendekat dan berebut pengen salim atau menempelkan punggung tangan bapak ke pipi maupun kening mereka. Sebenarnya ada juga pertanyaan melintas sesekali, apa tendensi mereka berebut menyalimi tangan Bapak. Apa memang mereka sayang dan respect pada Bapakku? Atau ikut2an temannya? Atau diajari bapak-ibu mereka? Dan akankah ketika mereka beranjak dewasa nanti apakah mereka masih akan salim dan mencium tangan bapak lagi? Well, terlepas dari itu semua, rutinitas tiap pagi itu menurutku itu pemandangan yang indah sekali. 

Rasa bangga selalu menyelimuti perasaanku, ketika menyaksikan adegan rebutan salim itu. Seakan rasanya pengin berkata pada mereka dengan nada kekanak-kanakan yang sangat membanggakan bapaknya  “heyy…kalian cuma punya kesempatan cium tangan bapakku 6 tahun saja, aku bisa setiap hariii…karena itu tangan bapakku” . heemm bangga sekali yaa.. tapi tentu saja aku pendam sendiri, masa’ mau saingan sama anak2 kecil? Tapi memang secara real-nya, akulah yang pertama kali mencium tangan Bapak sebelum didahului anak-anak itu…hhohohoho…please, din! Apa niatmu..:P 

Masih ingat betul aku ketika bapak pertama kali kembali ke sekolah setelah 2 bulan bed-rest. Waktu itu sekitar pukul 10 pagi saat bapak turun dari motor dan siswa mau pulang karena hari pendek. Mulanya cuma ada sekitar 10 siswa yang berlari menghapiri dan segera menyalimi tangan Bapak. Lalu tiba-tiba mereka berteriak-teriak mengabarkan ke teman-temannya “ Pak Yamto rawuhhh…! Pak Yamto datang….Dan segeralah sekitar 4 kelas atau sekitar hampir 100 siswa dari yang masih kecil imut-imut hingga yang agak besar berebutan salim sama Bapak. Momen itu mengharukan sekali, sampai g lupa aku abadikan lewat hape dan sempat juga aku melihat Bapak meneteskan air mata meski cuma sebentar. Wew..moment sangat touching menjadi guru yang dicintai dan dirindukan murid-muridnya.

Dan pada akhirnya, akupun mungkin hampir mengalami perasaan seperti saat-saat itu, meski hanya murid les, meski hanya murid ppl, mereka juga menyalimi tanganku setelah pelajaran usai. huuu…sangat terharu..rasanya masih belum pantas saya di ­salimi seperti itu, rasanya aku masih kekanak-kanakan dan blum banyak yang aku berikan pada murid-murid, tapi mereka mengekspresikan bentuk sayang dan respect lewat salim. Hmm..beginikah rasanya?


Thank you, Dad.
For inspiring us, to be a good teacher and a good parent.

tahi lalat, kenapa musti tah*? :P


 Pertanyaan bodoh sering sekali melintas di kepala saya (kenapa malah mengakui kebodohanmu sendiri sih, Din..hahaha). salah satunya adalah kenapa titik hitam ato daging kecil hitam penghias wajah dan bagian tubuh lainnya disebut tahi lalat. kenapa eh kenapa? siapa sih orang yang pertama kali menamakan tahi lalat? apa kata frasa tahi lalat ada di kamus besar bahasa indonesia. apa ya bahasa inggrisnya tahi lalat?

Oke,  saya punya 3 titik coklat kehitaman di wajah, dan tidak terlalu dapat menarik perhatian mata. Tapi, saya tidak rela menyebutnya tahi lalat. masa ada lalat e'ek tiga kali di wajah saya. saya tidak terima,, wrarrrr. ini pantesnya tahi semut. koq tahi semut? sama-sama tah* dung. soalnya ini kecil, mungkin hasil ekskresi semut lebih pantas. again, semut kan makannya gula, jadi hasil ekskresinya berupa tah* yang manis dan menambah manis :) .

Tahi lalat ada berbagai ukuran, ada yang kecil, sehingga terlihat hanya seperti flek hitam di wajah. ada pula yang berupa daging hitam yang menonjol, bahkan seperti biji pepaya. Dan cukup menarik perhatian mata saat melihat wajah seseorang dari pada bagian lain dari wajahnya. 


Tapi tahi lalat kan nggak cuma di wajah, din? yaaa, i see.. tahi lalat bisa menyebar diberbagai bagian tubuh manusia, dari bagian yang terlihat dan bagian tak terlihat (tertutup baju-din!). Sering pula letak tahi lalat itu, katanya, punya makna tersendiri. Kalo di atas bibir, katanya orangnya cerewet, kalo di telapak tangan, katanya pintar masak. Kalo di pantat artinya apa? duh..penasaran nihh...di buku primbon ada nggak yaahh..

aku masih bertanya-tanya tentang munculnya tahi lalat di bagian tubuh manusia. akhir-akhir ini aku berpikir tahi lalat muncul setelah muncul luka kecil lalu lama-lama jadi tahi lalat deh.. (sangat nggak ilmiah din). Tapi menurutku, analisisku tentang tahi lalat saat aku kecil lebih baik dari yang sekarang. Waktu aku  kecil (meski sampai sekarang tetap kecil :P)aku berpikir tahi lalat ada karena saat Tuhan menciptakan manusia, pena-Nya menetes atau membuat titik kecil atau bahkan menyipratkan titik-titik kecil (ini buat yang tahi lalatnya banyak). (Astagfirullah, saya g bermaksud Gusti Allah agak ceroboh, as we know, God is The Perfect Artist). Sehingga,  titik-titik itu menjadi tahi lalat ketika manusia terlahir di dunia. Make sense nggak?  hehehehe

Again, Tuhan tidak akan pernah menciptakan sesuatu tanpa ada alasan dan manfaat. Jadi berbanggalah kita, teman-teman bertah* lalat menjadi ciptaan Tuhan yang cantik dan special. jadi, sekarang aku mulai menamai si tahi lalat itu dan memasukkan dalam kamus besar Din yang g besar-besar dengan nama TPT atau Titik Pena Tuhan dan T3 atau Tetes Tinta Tuhan. Sip!

P.S : Anik sayang, maaf yee potonya aku upload juga…^^ thank uu..mmuach


Wartel, spot bersejarah masa sekolah


                                                                                     
Wartel alias warung telekomunikasi sekarang sudah kehilangan pamornya. Sejak telepon seluler mewarnai dunia telekomunikasi maka sekarang telepon kabel mulai ditingalkan dan wartel mulai jarang ditemui dan disambangi. Dulu, satu desa bisa ada 2 atau lebih wartel, sekarang mungkin sedikit sekali bahkan sudah tidak ada wartel lagi di sekitar kita. Bahkan box wartel di tempat tetanggaku sudah beralih fungsi menjadi kios jualan sayur karena merugi dan makin jarang orang yang memakai jasa wartel. Tapi, untukku personally, wartel memiliki nilai historis yang g bisa mudah dilupakan.. :P Apalagi ketika aku masih sering menggunakannya semasa SMP dan SMA dulu. 

Saat masih sekolah dulu, wartel adalah tempat wajib dikunjungi sepulang sekolah atau sepulang les, untuk menelpon rumah untuk minta dijemput. Ketika masa smp hape belum begitu merambah dunia komunikasi sehingga sedikit sekali yang punya hape. Jadi, ketika hendak menghubungi orang rumah, minta dijemput, wartel-lah alternative terbaik. Begitu pula masa SMA, aku baru pegang hape saat kelas 12, jadi kelas 10 dan 11 pun aku masih sering menyambangi box-box wartel yang ada kipas anginnya. (hehehe aku suka box wartel yang sejuk semriwing)


Ada 3 wartel yang bersejarah selama masa sekolah dulu. Bersejarah karena selalu ada moment yang g terlupakan yang tinggal di sana. Yang pertama, wartel yang letaknya dipinggir jalan RE Martadinata di barat SMA 3 Solo, Warung Miri, lalu Wartel di pinggir Jalan Kapten Mulyadi, depan SMP 6 Solo, dan wartel samping SLB Langenharjo (wooo..it doesn’t mean saya sekolah di sana yahh..^^) 


Wartel yang pertama namanya WTC bukan World Trade Center tapi Warung Telepon Cut Nyak Dien. Wartel di pinggir jalan itu biasa saja, tapi di situ aku sering menelpon rumah dan menunggu dijemput bersama my best friend, Ruli sepulang latihan atau ada acara di smaga wamir. Kita hampir setahun selalu  menelpon dan menunggu jemputan berdua sepulang latihan teater di sekolah. Yup, berdua menunggu ibu-nya Ruli datang menjemput, atau Bapakku tercinta datang menjemput. Kadang kita di jemput sore hari hingga malam hari, dengan kita masih berseragam putih abu-abu atau baju latihan dan menenteng 2 tas, tas ransel berisi buku-buku pelajaran dan tas plastic berisi kostum pentas. Dan ketika sekarang sesekali melewati wartel itu, aku selalu mengingat kembali, 2 siswi sma yang berdiri menunggu jemputan dan ketawa-ketiwi berdua. (sist, I dedicate this paragraph for you…^^)


Wartel yang kedua di depan SMP-ku yang sekarang sudah beralih fungsi jadi toko jilbab. Yang unik dari wartel ini adalah teleponnya seperti telpon koin seperti telepon umum pinggir jalan. 3 tahun, wartel ini selalu disambangi olehku sepulang sekolah. Selama hamper 3 tahun, aku musti menyiapkan 500 perak untuk menelpon bapak, dan hampir 3 tahun menunggu diluar wartel dan melihat ke selatan datangnya motor vega merah dan jaket bapak tersayang. Dulu, aku nggak berpikir repotnya Bapak bolak-balik menjemputku di jam istirahatnya, di jam makan siangnya, di jam main badmintonnya. Hingga baru sekarang menyadari (maafff…T.T) betapa Bapak loves me so much dari dulu sampai sekarang. Umm…my Dad is the greatest Dad on earth.


Wartel terakhir namanya Wartel Kinanthi sebelah SLB Langenharjo yang letaknya sekitar 500 meter dari rumah dan punya 1 box telpon. Di wartel itulah, pertama kali aku mencoba menelpon temen cowok yang aku taksir waktu smp. Karena takut ketahuan orang rumah, maka aku memutuskan memakai telpon wartel saja (hadeh…anak smp rupanya gitu yah). Materi pembicaraan sudah jauh-jauh hari dipersiapkan dan dilatih di rumah tapi tetap saja saat sudah masuk box wartel gugupnya bukan main. Masih inget banget deg-degannnya, keringat dingin dan mulesnya setengah mati (ni gugup apa belet e’ek sih? hehe). Memencet tombol 6 digit itu dan menunggu datangnya suara dari seberang sana rasanya gemetar seluruh tubuh. Saat kesempatan pertama telepon, panggilan langsung diangkat oleh si target, tapi langsung aku tutup telponnya karena panic sangat. Moga-moga si cowok itu tidak sampai berpikir bahwa dia diteror anak smp yang hampir pingsan di dalam wartel. Karena gagal itu, langsung aku pulang dan berpikir, baru mau menelpon aja rasanya udah kayak masuk angin, gimana kalo pacaran? Bisa sakit perut tiap hari nih. Kesempatan kedua, aku masih berangkat dengan nerveos yang sama. Tapi aku sudah memantapkan diri untuk bisa melanjutkan perbincangan yang gagal kemaren. Dan, diangkat! Tapi, “maaf dek, xxxx-nya lagi pergi ke rumah temannya tuh” gubrakkk…aku lemes dan give up. Heeehh dan akhirnya sampai aku lulus smp, aku belum pernah berhasil berbincang dengan cowok yang aku taksir itu by phone. Kalaupun sekarang aku ada kesempatan menelpon dia lagi, aku akan sangat ringan berkata “hey…tau nggak, yang nelpon kamu pas kamu smp tapi dia nggak ngomong-ngomong itu aku, aku dulu naksir kamu, dan mau nelpon kamu lewat wartel, tapi selalu gagal, karena nunggu kamu angkat telpon dan bicara itu membuat aku mules dan belet e’ek yang menyiksa..hahahahaha” Kalau diinget kembali memang manis-manis konyol waktu cinta-cinta monyet SMP, dan wartel kinanthi-lah saksi biru nerveos-nya nelpon cinta pertama. Auwaaaa…! Tapi sayangnya, sekarang wartel kinanthi sudah tidak beroperasi, sudah kembali menjadi bagian sudut SLB Langenharjo.



Begitulah tentang 3 warnet paling bersejarah buat saya ini. Ya, sekarang memang susah menemukan keberadaan wartel di sekitar kita karena memang terasa sekali bahwa fungsi hape menggantikan jasa yang ditawarkan wartel. Wartel yang dulu bertebaran di mana-mana, kini telah ditutup atau dialihfungsikan oleh pengelolanya. Tapi, bagi sebagian orang wartel berperan penting dalam perjalannan hidup seseorang, bahkan mencipatakan kenangan-kenangn manis yang tersimpan rapi di rak memori manusia, termasuk saya.