Wartel alias warung telekomunikasi sekarang sudah kehilangan pamornya. Sejak telepon seluler mewarnai dunia telekomunikasi maka sekarang telepon kabel mulai ditingalkan dan wartel mulai jarang ditemui dan disambangi. Dulu, satu desa bisa ada 2 atau lebih wartel, sekarang mungkin sedikit sekali bahkan sudah tidak ada wartel lagi di sekitar kita. Bahkan box wartel di tempat tetanggaku sudah beralih fungsi menjadi kios jualan sayur karena merugi dan makin jarang orang yang memakai jasa wartel. Tapi, untukku personally, wartel memiliki nilai historis yang g bisa mudah dilupakan.. :P Apalagi ketika aku masih sering menggunakannya semasa SMP dan SMA dulu.
Saat masih sekolah dulu, wartel adalah tempat wajib dikunjungi sepulang sekolah atau sepulang les, untuk menelpon rumah untuk minta dijemput. Ketika masa smp hape belum begitu merambah dunia komunikasi sehingga sedikit sekali yang punya hape. Jadi, ketika hendak menghubungi orang rumah, minta dijemput, wartel-lah alternative terbaik. Begitu pula masa SMA, aku baru pegang hape saat kelas 12, jadi kelas 10 dan 11 pun aku masih sering menyambangi box-box wartel yang ada kipas anginnya. (hehehe aku suka box wartel yang sejuk semriwing)
Ada 3 wartel yang bersejarah selama masa sekolah dulu. Bersejarah karena selalu ada moment yang g terlupakan yang tinggal di sana. Yang pertama, wartel yang letaknya dipinggir jalan RE Martadinata di barat SMA 3 Solo, Warung Miri, lalu Wartel di pinggir Jalan Kapten Mulyadi, depan SMP 6 Solo, dan wartel samping SLB Langenharjo (wooo..it doesn’t mean saya sekolah di sana yahh..^^)
Wartel yang pertama namanya WTC bukan World Trade Center tapi Warung Telepon Cut Nyak Dien. Wartel di pinggir jalan itu biasa saja, tapi di situ aku sering menelpon rumah dan menunggu dijemput bersama my best friend, Ruli sepulang latihan atau ada acara di smaga wamir. Kita hampir setahun selalu menelpon dan menunggu jemputan berdua sepulang latihan teater di sekolah. Yup, berdua menunggu ibu-nya Ruli datang menjemput, atau Bapakku tercinta datang menjemput. Kadang kita di jemput sore hari hingga malam hari, dengan kita masih berseragam putih abu-abu atau baju latihan dan menenteng 2 tas, tas ransel berisi buku-buku pelajaran dan tas plastic berisi kostum pentas. Dan ketika sekarang sesekali melewati wartel itu, aku selalu mengingat kembali, 2 siswi sma yang berdiri menunggu jemputan dan ketawa-ketiwi berdua. (sist, I dedicate this paragraph for you…^^)
Wartel yang kedua di depan SMP-ku yang sekarang sudah beralih fungsi jadi toko jilbab. Yang unik dari wartel ini adalah teleponnya seperti telpon koin seperti telepon umum pinggir jalan. 3 tahun, wartel ini selalu disambangi olehku sepulang sekolah. Selama hamper 3 tahun, aku musti menyiapkan 500 perak untuk menelpon bapak, dan hampir 3 tahun menunggu diluar wartel dan melihat ke selatan datangnya motor vega merah dan jaket bapak tersayang. Dulu, aku nggak berpikir repotnya Bapak bolak-balik menjemputku di jam istirahatnya, di jam makan siangnya, di jam main badmintonnya. Hingga baru sekarang menyadari (maafff…T.T) betapa Bapak loves me so much dari dulu sampai sekarang. Umm…my Dad is the greatest Dad on earth.
Wartel terakhir namanya Wartel Kinanthi sebelah SLB Langenharjo yang letaknya sekitar 500 meter dari rumah dan punya 1 box telpon. Di wartel itulah, pertama kali aku mencoba menelpon temen cowok yang aku taksir waktu smp. Karena takut ketahuan orang rumah, maka aku memutuskan memakai telpon wartel saja (hadeh…anak smp rupanya gitu yah). Materi pembicaraan sudah jauh-jauh hari dipersiapkan dan dilatih di rumah tapi tetap saja saat sudah masuk box wartel gugupnya bukan main. Masih inget banget deg-degannnya, keringat dingin dan mulesnya setengah mati (ni gugup apa belet e’ek sih? hehe). Memencet tombol 6 digit itu dan menunggu datangnya suara dari seberang sana rasanya gemetar seluruh tubuh. Saat kesempatan pertama telepon, panggilan langsung diangkat oleh si target, tapi langsung aku tutup telponnya karena panic sangat. Moga-moga si cowok itu tidak sampai berpikir bahwa dia diteror anak smp yang hampir pingsan di dalam wartel. Karena gagal itu, langsung aku pulang dan berpikir, baru mau menelpon aja rasanya udah kayak masuk angin, gimana kalo pacaran? Bisa sakit perut tiap hari nih. Kesempatan kedua, aku masih berangkat dengan nerveos yang sama. Tapi aku sudah memantapkan diri untuk bisa melanjutkan perbincangan yang gagal kemaren. Dan, diangkat! Tapi, “maaf dek, xxxx-nya lagi pergi ke rumah temannya tuh” gubrakkk…aku lemes dan give up. Heeehh dan akhirnya sampai aku lulus smp, aku belum pernah berhasil berbincang dengan cowok yang aku taksir itu by phone. Kalaupun sekarang aku ada kesempatan menelpon dia lagi, aku akan sangat ringan berkata “hey…tau nggak, yang nelpon kamu pas kamu smp tapi dia nggak ngomong-ngomong itu aku, aku dulu naksir kamu, dan mau nelpon kamu lewat wartel, tapi selalu gagal, karena nunggu kamu angkat telpon dan bicara itu membuat aku mules dan belet e’ek yang menyiksa..hahahahaha” Kalau diinget kembali memang manis-manis konyol waktu cinta-cinta monyet SMP, dan wartel kinanthi-lah saksi biru nerveos-nya nelpon cinta pertama. Auwaaaa…! Tapi sayangnya, sekarang wartel kinanthi sudah tidak beroperasi, sudah kembali menjadi bagian sudut SLB Langenharjo.
Begitulah tentang 3 warnet paling bersejarah buat saya ini. Ya, sekarang memang susah menemukan keberadaan wartel di sekitar kita karena memang terasa sekali bahwa fungsi hape menggantikan jasa yang ditawarkan wartel. Wartel yang dulu bertebaran di mana-mana, kini telah ditutup atau dialihfungsikan oleh pengelolanya. Tapi, bagi sebagian orang wartel berperan penting dalam perjalannan hidup seseorang, bahkan mencipatakan kenangan-kenangn manis yang tersimpan rapi di rak memori manusia, termasuk saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar