Senin, 01 Agustus 2011

My dad’s hand


Tangan bapakku memang jauh dari halus dan bagus. Tangan bapakku itu simple, besar, kasar dan coklat seperti tangan-tangan laki-laki pekerja pada umumnya. Keriput juga sudah menghiasi punggung tangannya. Meski jauh dari sempurna, tapi  tangan itu adalah most-wanted hand yang ingin dicium oleh murid-muridnya. Tanya kenapa?

Jawabnya: entah.. :D. Tapi memang begitulah adanya. Setiap bapak sampai di sekolah dan turun dari motor, segera Bapak diserbu oleh murid2nya. Mereka segera mendekat dan berebut pengen salim atau menempelkan punggung tangan bapak ke pipi maupun kening mereka. Sebenarnya ada juga pertanyaan melintas sesekali, apa tendensi mereka berebut menyalimi tangan Bapak. Apa memang mereka sayang dan respect pada Bapakku? Atau ikut2an temannya? Atau diajari bapak-ibu mereka? Dan akankah ketika mereka beranjak dewasa nanti apakah mereka masih akan salim dan mencium tangan bapak lagi? Well, terlepas dari itu semua, rutinitas tiap pagi itu menurutku itu pemandangan yang indah sekali. 

Rasa bangga selalu menyelimuti perasaanku, ketika menyaksikan adegan rebutan salim itu. Seakan rasanya pengin berkata pada mereka dengan nada kekanak-kanakan yang sangat membanggakan bapaknya  “heyy…kalian cuma punya kesempatan cium tangan bapakku 6 tahun saja, aku bisa setiap hariii…karena itu tangan bapakku” . heemm bangga sekali yaa.. tapi tentu saja aku pendam sendiri, masa’ mau saingan sama anak2 kecil? Tapi memang secara real-nya, akulah yang pertama kali mencium tangan Bapak sebelum didahului anak-anak itu…hhohohoho…please, din! Apa niatmu..:P 

Masih ingat betul aku ketika bapak pertama kali kembali ke sekolah setelah 2 bulan bed-rest. Waktu itu sekitar pukul 10 pagi saat bapak turun dari motor dan siswa mau pulang karena hari pendek. Mulanya cuma ada sekitar 10 siswa yang berlari menghapiri dan segera menyalimi tangan Bapak. Lalu tiba-tiba mereka berteriak-teriak mengabarkan ke teman-temannya “ Pak Yamto rawuhhh…! Pak Yamto datang….Dan segeralah sekitar 4 kelas atau sekitar hampir 100 siswa dari yang masih kecil imut-imut hingga yang agak besar berebutan salim sama Bapak. Momen itu mengharukan sekali, sampai g lupa aku abadikan lewat hape dan sempat juga aku melihat Bapak meneteskan air mata meski cuma sebentar. Wew..moment sangat touching menjadi guru yang dicintai dan dirindukan murid-muridnya.

Dan pada akhirnya, akupun mungkin hampir mengalami perasaan seperti saat-saat itu, meski hanya murid les, meski hanya murid ppl, mereka juga menyalimi tanganku setelah pelajaran usai. huuu…sangat terharu..rasanya masih belum pantas saya di ­salimi seperti itu, rasanya aku masih kekanak-kanakan dan blum banyak yang aku berikan pada murid-murid, tapi mereka mengekspresikan bentuk sayang dan respect lewat salim. Hmm..beginikah rasanya?


Thank you, Dad.
For inspiring us, to be a good teacher and a good parent.

tahi lalat, kenapa musti tah*? :P


 Pertanyaan bodoh sering sekali melintas di kepala saya (kenapa malah mengakui kebodohanmu sendiri sih, Din..hahaha). salah satunya adalah kenapa titik hitam ato daging kecil hitam penghias wajah dan bagian tubuh lainnya disebut tahi lalat. kenapa eh kenapa? siapa sih orang yang pertama kali menamakan tahi lalat? apa kata frasa tahi lalat ada di kamus besar bahasa indonesia. apa ya bahasa inggrisnya tahi lalat?

Oke,  saya punya 3 titik coklat kehitaman di wajah, dan tidak terlalu dapat menarik perhatian mata. Tapi, saya tidak rela menyebutnya tahi lalat. masa ada lalat e'ek tiga kali di wajah saya. saya tidak terima,, wrarrrr. ini pantesnya tahi semut. koq tahi semut? sama-sama tah* dung. soalnya ini kecil, mungkin hasil ekskresi semut lebih pantas. again, semut kan makannya gula, jadi hasil ekskresinya berupa tah* yang manis dan menambah manis :) .

Tahi lalat ada berbagai ukuran, ada yang kecil, sehingga terlihat hanya seperti flek hitam di wajah. ada pula yang berupa daging hitam yang menonjol, bahkan seperti biji pepaya. Dan cukup menarik perhatian mata saat melihat wajah seseorang dari pada bagian lain dari wajahnya. 


Tapi tahi lalat kan nggak cuma di wajah, din? yaaa, i see.. tahi lalat bisa menyebar diberbagai bagian tubuh manusia, dari bagian yang terlihat dan bagian tak terlihat (tertutup baju-din!). Sering pula letak tahi lalat itu, katanya, punya makna tersendiri. Kalo di atas bibir, katanya orangnya cerewet, kalo di telapak tangan, katanya pintar masak. Kalo di pantat artinya apa? duh..penasaran nihh...di buku primbon ada nggak yaahh..

aku masih bertanya-tanya tentang munculnya tahi lalat di bagian tubuh manusia. akhir-akhir ini aku berpikir tahi lalat muncul setelah muncul luka kecil lalu lama-lama jadi tahi lalat deh.. (sangat nggak ilmiah din). Tapi menurutku, analisisku tentang tahi lalat saat aku kecil lebih baik dari yang sekarang. Waktu aku  kecil (meski sampai sekarang tetap kecil :P)aku berpikir tahi lalat ada karena saat Tuhan menciptakan manusia, pena-Nya menetes atau membuat titik kecil atau bahkan menyipratkan titik-titik kecil (ini buat yang tahi lalatnya banyak). (Astagfirullah, saya g bermaksud Gusti Allah agak ceroboh, as we know, God is The Perfect Artist). Sehingga,  titik-titik itu menjadi tahi lalat ketika manusia terlahir di dunia. Make sense nggak?  hehehehe

Again, Tuhan tidak akan pernah menciptakan sesuatu tanpa ada alasan dan manfaat. Jadi berbanggalah kita, teman-teman bertah* lalat menjadi ciptaan Tuhan yang cantik dan special. jadi, sekarang aku mulai menamai si tahi lalat itu dan memasukkan dalam kamus besar Din yang g besar-besar dengan nama TPT atau Titik Pena Tuhan dan T3 atau Tetes Tinta Tuhan. Sip!

P.S : Anik sayang, maaf yee potonya aku upload juga…^^ thank uu..mmuach


Wartel, spot bersejarah masa sekolah


                                                                                     
Wartel alias warung telekomunikasi sekarang sudah kehilangan pamornya. Sejak telepon seluler mewarnai dunia telekomunikasi maka sekarang telepon kabel mulai ditingalkan dan wartel mulai jarang ditemui dan disambangi. Dulu, satu desa bisa ada 2 atau lebih wartel, sekarang mungkin sedikit sekali bahkan sudah tidak ada wartel lagi di sekitar kita. Bahkan box wartel di tempat tetanggaku sudah beralih fungsi menjadi kios jualan sayur karena merugi dan makin jarang orang yang memakai jasa wartel. Tapi, untukku personally, wartel memiliki nilai historis yang g bisa mudah dilupakan.. :P Apalagi ketika aku masih sering menggunakannya semasa SMP dan SMA dulu. 

Saat masih sekolah dulu, wartel adalah tempat wajib dikunjungi sepulang sekolah atau sepulang les, untuk menelpon rumah untuk minta dijemput. Ketika masa smp hape belum begitu merambah dunia komunikasi sehingga sedikit sekali yang punya hape. Jadi, ketika hendak menghubungi orang rumah, minta dijemput, wartel-lah alternative terbaik. Begitu pula masa SMA, aku baru pegang hape saat kelas 12, jadi kelas 10 dan 11 pun aku masih sering menyambangi box-box wartel yang ada kipas anginnya. (hehehe aku suka box wartel yang sejuk semriwing)


Ada 3 wartel yang bersejarah selama masa sekolah dulu. Bersejarah karena selalu ada moment yang g terlupakan yang tinggal di sana. Yang pertama, wartel yang letaknya dipinggir jalan RE Martadinata di barat SMA 3 Solo, Warung Miri, lalu Wartel di pinggir Jalan Kapten Mulyadi, depan SMP 6 Solo, dan wartel samping SLB Langenharjo (wooo..it doesn’t mean saya sekolah di sana yahh..^^) 


Wartel yang pertama namanya WTC bukan World Trade Center tapi Warung Telepon Cut Nyak Dien. Wartel di pinggir jalan itu biasa saja, tapi di situ aku sering menelpon rumah dan menunggu dijemput bersama my best friend, Ruli sepulang latihan atau ada acara di smaga wamir. Kita hampir setahun selalu  menelpon dan menunggu jemputan berdua sepulang latihan teater di sekolah. Yup, berdua menunggu ibu-nya Ruli datang menjemput, atau Bapakku tercinta datang menjemput. Kadang kita di jemput sore hari hingga malam hari, dengan kita masih berseragam putih abu-abu atau baju latihan dan menenteng 2 tas, tas ransel berisi buku-buku pelajaran dan tas plastic berisi kostum pentas. Dan ketika sekarang sesekali melewati wartel itu, aku selalu mengingat kembali, 2 siswi sma yang berdiri menunggu jemputan dan ketawa-ketiwi berdua. (sist, I dedicate this paragraph for you…^^)


Wartel yang kedua di depan SMP-ku yang sekarang sudah beralih fungsi jadi toko jilbab. Yang unik dari wartel ini adalah teleponnya seperti telpon koin seperti telepon umum pinggir jalan. 3 tahun, wartel ini selalu disambangi olehku sepulang sekolah. Selama hamper 3 tahun, aku musti menyiapkan 500 perak untuk menelpon bapak, dan hampir 3 tahun menunggu diluar wartel dan melihat ke selatan datangnya motor vega merah dan jaket bapak tersayang. Dulu, aku nggak berpikir repotnya Bapak bolak-balik menjemputku di jam istirahatnya, di jam makan siangnya, di jam main badmintonnya. Hingga baru sekarang menyadari (maafff…T.T) betapa Bapak loves me so much dari dulu sampai sekarang. Umm…my Dad is the greatest Dad on earth.


Wartel terakhir namanya Wartel Kinanthi sebelah SLB Langenharjo yang letaknya sekitar 500 meter dari rumah dan punya 1 box telpon. Di wartel itulah, pertama kali aku mencoba menelpon temen cowok yang aku taksir waktu smp. Karena takut ketahuan orang rumah, maka aku memutuskan memakai telpon wartel saja (hadeh…anak smp rupanya gitu yah). Materi pembicaraan sudah jauh-jauh hari dipersiapkan dan dilatih di rumah tapi tetap saja saat sudah masuk box wartel gugupnya bukan main. Masih inget banget deg-degannnya, keringat dingin dan mulesnya setengah mati (ni gugup apa belet e’ek sih? hehe). Memencet tombol 6 digit itu dan menunggu datangnya suara dari seberang sana rasanya gemetar seluruh tubuh. Saat kesempatan pertama telepon, panggilan langsung diangkat oleh si target, tapi langsung aku tutup telponnya karena panic sangat. Moga-moga si cowok itu tidak sampai berpikir bahwa dia diteror anak smp yang hampir pingsan di dalam wartel. Karena gagal itu, langsung aku pulang dan berpikir, baru mau menelpon aja rasanya udah kayak masuk angin, gimana kalo pacaran? Bisa sakit perut tiap hari nih. Kesempatan kedua, aku masih berangkat dengan nerveos yang sama. Tapi aku sudah memantapkan diri untuk bisa melanjutkan perbincangan yang gagal kemaren. Dan, diangkat! Tapi, “maaf dek, xxxx-nya lagi pergi ke rumah temannya tuh” gubrakkk…aku lemes dan give up. Heeehh dan akhirnya sampai aku lulus smp, aku belum pernah berhasil berbincang dengan cowok yang aku taksir itu by phone. Kalaupun sekarang aku ada kesempatan menelpon dia lagi, aku akan sangat ringan berkata “hey…tau nggak, yang nelpon kamu pas kamu smp tapi dia nggak ngomong-ngomong itu aku, aku dulu naksir kamu, dan mau nelpon kamu lewat wartel, tapi selalu gagal, karena nunggu kamu angkat telpon dan bicara itu membuat aku mules dan belet e’ek yang menyiksa..hahahahaha” Kalau diinget kembali memang manis-manis konyol waktu cinta-cinta monyet SMP, dan wartel kinanthi-lah saksi biru nerveos-nya nelpon cinta pertama. Auwaaaa…! Tapi sayangnya, sekarang wartel kinanthi sudah tidak beroperasi, sudah kembali menjadi bagian sudut SLB Langenharjo.



Begitulah tentang 3 warnet paling bersejarah buat saya ini. Ya, sekarang memang susah menemukan keberadaan wartel di sekitar kita karena memang terasa sekali bahwa fungsi hape menggantikan jasa yang ditawarkan wartel. Wartel yang dulu bertebaran di mana-mana, kini telah ditutup atau dialihfungsikan oleh pengelolanya. Tapi, bagi sebagian orang wartel berperan penting dalam perjalannan hidup seseorang, bahkan mencipatakan kenangan-kenangn manis yang tersimpan rapi di rak memori manusia, termasuk saya.   

Captain Underpants a.k.a Kapten Kolor


Meet Captain Underpants ato bahasa gaulna, Kapten Kolor, super hero kocak yang lebih kocak and lebih original dari yang di tipi-tipi. Tokoh kreasi Dav Pilkey ini sangat kocak dan seru yang disusunnya dalam buku komik yang disebutnya epic novel. Okay, sekarang bayangkan kepala sekolah yang gendut dan botak, beraksi hanya dengan kolor putih gede yang sama sekali nggak seksi, dan gorden merah sebagai jubah terbang. Ditambah, senyuman heroic super percaya diri sambil meneriakkan yel-yel kemunculannnya “tra-la-laaa”. Apa dalam pikiran anda? Orang gila? NO! itu kapten kolor dengan senjata andalannya,-jang jang jang jang- jepretan karet kolor….!! Gubrakk! 

Sebenarnya kemunculan Kapten Kolor diawali oleh ulah super iseng dari dua murid paling iseng di Jerome Horwitz Elementary, George Beard dan Harold Hutchins. Meski penulis selalu bilang, George dan Harold adalah anak-anak yang sebenernya baik, tapi ke-kreatif-annya dalam usil, minta ampun deh. Sampai-sampai Mr. Krupp kepala sekolah yang sangar di hipnotis menjadi tokoh komik kreasi mereka, Kapten Kolor.  
Dari label buku ini sih, sebenernya ditujukan untuk pembaca usia 7-10 tahun. Tapi selain  kata-kata rhyming yang  seru, ceritanya juga selalu kocak. Coba aja, masalah dalam novel-komik ini cuma 1, yaitu ada yang mau take over the world alias menguasai dunia. Dan yang mau menguasai dunia itu adalah talking toilet – toilet yang bisa ngomong, lunch lady- ibu kantin yang berasal dari luar angkasa, sampai professor yang marah gara-gara namanya ditertawai dan membuat  robot raksasa dan musuh-musuh yang aneh-aneh semua. Tapi, pada akhirnya, semuanya dikalahkan sama Kapten Kolor dibantu sama George dan Harold.

Dav Pilkey pintar sekali membuat saya nggak berhenti mengikuti seri Captain Underpants lainnya. Karena bacaan ringan ini bisa denngan cepat diselesaikan hanya dengan sekali duduk. Bahkan ada 1 chapter yang hanya berisi satu klausa “…..and they did” untuk membuat cerita yang panjang menjadi pendek. Dav Pilkey, jossss!! Ouiya, jaangan lupa adanya fitur Flip-o-rama, yaitu membolak-balik halaman dengan cepat sehingga membuat gambar seakan bergerak dan adegan menendang, tonjok dan injak seakan bergerak  seperti pilem animasi  dan juga ciptakan sound effectnya dengan mulut masing-masing yahhh, dezzzziiinnnkk…kaboomm… sambil bolak-balikin halaman. Selamat membaca, selamat tertawa. ^^

-dinar raskal-

picture taken from: http://www.google.co.id/imgres?q=captain+underpants&um=1&hl=id&client=firefox-a&rls=org.mozilla:en-US:official&biw=1024&bih=447&tbm=isch&tbnid=4RU1X3a6WzT4xM:&imgrefurl=http://therandombookreview.blogspot.com/2010/09/book-35-adventures-of-captain.html&docid=tlaN-JZljKcgbM&w=420&h=612&ei=yzI2TpvfPMbsrQeds5jQCw&zoom=1