Rabu, 23 November 2011

Laki-laki, make up dan tamborin



 Laki-laki, make up dan tamborin. Apa yang anda pikirkan dengan tiga hal di atas? Mungkin anda berpikiran sama dengan saya. Laki-laki dengan make up, dan memegang tamborin, mencari penyambung hidup. Namun, saya tidak hanya memikirkan saja kombinasi ketiganya, saya menyaksikannya, mencuri perhatian saya, siang ini.  
Sudah jadi kebiasaan saya di semester uzur ini berangkat ke kampus di siang hari. Seperti biasa, mengendarai Mimi saya tercinta di bawah terik matahari tengah hari yang sering membuat saya cenat-cenut.  Di pinggir jalan R.E Martadinata yang padat dan berjajar toko-toko karpet, berdiri seorang, yang biasa masyarakat labeli, waria. Melihat seorang waria, bukanlah hal yang mengejutkan bagi saya, tetapi orang ini begitu menarik perhatian saya hingga terpikir oleh saya untuk men-share cerita tentang bapak ini. Okey…saya lebih leluasa menyebutnya Bapak saja dalam tulisan cuap-cuap nggak jelas saya ini ^^.
Meskipun saya hanya melintas saja di depan bapak itu, saya cukup lama memperhatikan bapak yang mencuri perhatian ini. Bapak itu mungkin sudah memasuki usia setengah abad, terlihat dari keriput yang menghiasi wajahnya yang tidak berhasil ditutupi dengan make up tebalnya. Dari riasan tebal di wajahnya, Bapak ini mungkin sudah mengenal berbagai jenis beauty kit yang biasa dipakai wanita seperti alas bedak, pensil alis, eyeliner, eyeshadow, lipstick, blush on, dan entah lainnya juga. Eyeshadow hijaunya eyecatching sekali, bahkan saya berani bertaruh, saya pasti kalah canggih mengenal dan mengeksplor make up daripada bapak ini.
Pakaian bapak inipun tak luput dari perhatian saya. Bapak ini berpostur sedang dan cenderung kurus, dan berpakaian sangat biasa, tidak seperti stereotype (maaf..) waria yang biasa digambarkan. Bapak ini hanya memakai sandal flat biasa, celana 7/8 dengan warna hijau yang sudah agak kusam, dan blouse panjang biru yang juga sederhana. Rambut tipis sebahu bergelombang dan kurang tertata rapi  seakan sosok yang ditampilkan adalah ibu rumah tangga biasa.
Tamborin yang dipegang Bapak ini di tangan kanannya sudah mengindikasikan apa yang dikerjakannya siang itu, bahkan bisa saja kita cepat mengambil kesimpulan apa pekerjaan bapak ini. Entah benar atau tidak.
(Damn! Indonesia kalah, ditanding penalty. Saya sambil nonton bola nih. Huhuhuhu,,, nangis lemes!) (Yuk lanjut cerita lagi. Sampai mana tadi? Oiya… )
Ekspresi si Bapak siang itu masih terekam baik dalam memori saya. Dengan keringat yang membasahi kening dan melunturkan make upnya, Bapak ini tidak menunjukkan ekspresi kemayu ataupun menggoda atau apalah. Di pinggir jalan itu, Bapak itu memandang dengan cemas kearah arus jalan barat, dengan kening berkerut dan mata menyipit menahan silau. Si Bapak sepertinya hendak menyeberang ke sisi jalan yang satunya dengan ragu-ragu. Mungkin beliau hendak ke toko di seberang jalan, melanjutkan bekerja. Ini kan tengah hari, Pak, waktunya istirahat sejenak. Kapan waktu istirahat Bapak?  
Di depan saya, ada dua orang pria naik matic di depanku yang menunjuk-nunjuk si bapak bermake up itu, lalu cekikikan bersama. Sepertinya keduanya mahasiswa. Miris. What was in their mind? Ah…entahlah, mungkin aku yang terlalu sok perhatian. Hanya terlintas saja, selama melanjutkan perjalanan ke kampus, saya memikirkan bagaimana si Bapak itu pulang, bagaimana respon orang-orang yang melihat usahanya mengumpulkan rupiah, bagaimana dia membersihkan make upnya, dan mengatur uang belanjanya dalam 1 hari, dan apakah Bapak itu berkeluarga. Bagaimana keluarganya memahami kondisi si Bapak mencari penghasilan.  Sesusah inikah mendapatkan penyambung hidup. Dan payahnya, saya hanya memikirkan saja tanpa melakukan aksi apapun. I wish I could do something.. something yang sedikit bisa menyumbangkan sedikit kebahagiaan entah apapun wujudnya.
Dan pada akhirnya, saya hanya bermuara pada dua poin, beruntung dan bersyukur. Bersyukur karena betapa beruntungnya saya karena tidak pelu memikirkan apa yang akan saya makan hari ini dan 1 bulan ke depan..ada ayah dan ibu tercinta yang dengan ikhlas hati mengusahakan. Bersyukur dengan kondisi sebaik ini tanpa harus memikirkan segala kemungkinan untuk mengumpulkan penyambung hidup untuk hari ini dan besok, dan meski pada suatu saat nanti saya juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk menanggung diri saya sendiri.
Tidak mungkin tidak si bapak itu tidak memikirkan apa yang dipilihnya dan dikerjakannya. Pasti dalam lubuk hatinya ada pertimbangan-pertimbangan yang dirasakannya lalu dipikirkannya. Entah seperti apa. Namun, bukan selayaknya kita menertawakan apa yang dipilih seseorang, saya memberikan apresiasi kepada seseorang menjalankan pengabdian kepada orang-orang yang dicintainya (apabila benar begitu adanya) meskipun terkadang tidak mendukung sepenuhnya pada cara dan usaha yang dikerjakan.  

Terimakasih, Bapak tamborin
For the inspiration…

Rabu, 16 November 2011

Empat Hari Menjadi Mahasiswa Jalanan


Bagaimana rasanya mahasiswa-mahasiswi yang mainnya ke kampus tiap hari, ketemu teman-teman kuliah dan dosen, bergelut buku, tugas, dan kertas mendadak menjadi mahasiswa jalanan yang mainnya sama supir-supir bus dan truk. It was super duper fun!!
Yup, saya bersama teman-teman mahasiswa tingkat akhir yang tengah dilanda derita nestapa karena tiap hari harus bercinta dengan yang namanya sekeripsih, langsung bersemangat mendengar tawaran dari salah satu teman saya (sebut saja namanya Mawar,, eh Anita ding! ckakakaka) untuk menjadi surveyor untuk survey oleh salah satu dinas yang berhubungan dengan transportasi darat pertengahan Oktober lalu. Selain membayangkan tantangan yang sepertinya menarik, fee hariannya lah yang sangat menggoda bagi kami para mahasiswa galau. Kalau saya estimasikan sih, fee harian untuk bertugas selama 8 jam bisa dibeliin cimol satu gerobak.
Setelah satu hari pelatihan di gedung pertemuan di kantor dinasnya, masi belum punya bayangan juga apa yang harus dilakukan di lapangan ntar.  (well, yang paling impressif dari 1 hari pelatihan itu adalah, nasi kotaknya,, fantastic…:D ) Tapi, begitu sampai dilapangan, wah…ternyata saya, bersama temen-temen yang notabene berwajah anak-anak innocent ini langsung beringas melaksanakan tugas sebagai surveyor, dibantu Bapak-bapak petugas dan juga Abang Polisi yang baek…^^.
Awalnya kita berpikir 8 jam itu lama banget, tapi ternyata, sampe tidak terasa dari pagi-pagi sekali kita berangkat dari rumah (anak sekolah kalah tuh) sampai lepas dhuhur rupanya. Setiap pagi sampai di TKP, saya bersama teman-teman masih cantik, bersih dan hingga siang hari sudah penuh debu, bau matahari dan wajah kucel tapi tetep ceria karena amplop cantik sudah menanti. Akakakaka… Hari pertama, kita mencoba on time, berangkat pagi-pagi sekali dan sudah cantik, tapi lama-lama sampai hingga hari terakhir, kita  berangkat dengan tergesa-gesa sampai belum sempat mandi juga. (sopo wii…)

Menjadi surveyor di jalanan ternyata berkesan sekali euyy.. kapan lagi saya, mahasiswi imut ini (hueeekkk..)menghadang truk-truk guedhe, truk container, truk gandeng, sampe truk adonan semen (kadang-kadang berasa seperti tukang palak), ketemu dan menginterview bapak-bapak sopir yang sangar, tatoan, hingga yang jarang sikat gigi…ewwwhhh. Ekspresi yang berbeda-bedapun ditunjukkan bapak-bapak sopir. Ada yang ramah, ada yang genit-genit, ada yang cuek, bahkan ada yang super panic mencari-cari surat-surat, karena dikira razia. Barang-barang yang diangkutpun macem-macem, dari paketan, mie, sandal, kambing, sapi, jerami, plastic, semen, rokok, tabung gas, mangga, sampe korok’an kuping (cotton bud). Bahkan ada, salah satu truk yang membawa jeruk memberi kita 5 buah  jeruk lhooo…(serasa diserahi upeti nih)^^. Dan satu lagi satu poin yang sangat mengesankan, kapan lagi saya bisa membuat jalanan Sragen –Karanganyar macet gara-gara saya dan diijinkan secara legal ^^, ckakakaka
Meski menjadi surveyor dadakan yang bertugas 8 jam di pinggir jalan, tidak se-ngeri terdengarnya koq.  4 hari yang melelehkan itu fun dan berkesan sekali. Yang jelas yang selalu membuat kita selalu on adalah karena tiap hari selalu berlimpah makanan dan minuman. Mulai dari nasi kotak, nasi bungkus, brownies, gorengan, aer mineral, pisang, roti, snack, sampe es klamud gratis…..^^ (big thanks to mas Fuat). Empat hari menjadi mahasiswa pinggir jalan, ternyata juga bikin kita amnesia tentang higienitas, cewek-cewek cantik ini (oke, Erry g masuk kategori ini) sampe kita tidak peduli makan di pinggir jalan, di pinggir kali limbah, pinggir sawah juga, penuh debu dan kadang asap mobil, bus , malah plus digodain bapak-bapak sopir truk ”asolole……...”. waduh waduh….
Karena hasil keringat ngobyek selalu diserahkan harian dengan amplop putih tercinta itu, maka dengan dengan semangat membara, mata berkilat-kilat, meski wajah sudah kucel tingkat akut, kita langsung saja berfoya-foya dan wisata kuliner sepulang ngobyek. Mau ayam goyeng? Bakso rusuk? Es teller?? Let’s go gage! Wkwkwkwk..
Tapi disamping semua fun itu, juga ada moment-moment yang membuat kita jadi jengkel dan desperate juga, dari dimarahi bapak kondektur, supir bus, sampe dimarahi ibu-ibu yang mau ke pasar dan kulit belang terbakar matahari. (sumpah, kita tetap membawa beauty kid selama menjadi mahasiswi jalanan).
Well,  4 hari menjadi mahasiswa jalanan rasanya menjadi sedikit melawan arus yang biasanya kita arungi. Empat hari yang unforgettable dan full of fun meski capenya juga tidak karu-karuan, tapi bersama teman-teman yang asik, bapak-bapak petugas dan mas-mas polisi yang baik dan menyenangkan, it was so exciting. Sayang, agenda survey itu hanya lima tahun sekali…hehehe…kalau terlalu sering mahasiswanya yang bahagia, petugas dinasnya yang mumet :D